Senin, 20 Desember 2010

etika dan pasar bebas

Sejarah dari perdagangan bebas internasional adalah sejarah perdagangan internasional memfokuskan dalam pengembangan dari pasar terbuka. Diketahui bahwa bermacam kebudayaan yang makmur sepanjang sejarah yang bertransaksi dalam perdagangan. Berdasarkan hal ini, secara teoritis rasionalisasi sebagai kebijakan dari perdagangan bebas akan menjadi menguntungkan ke negara berkembang sepanjang waktu. Teori ini berkembang dalam rasa moderennya dari kebudayaan komersil di Inggris, dan lebih luas lagi Eropa, sepanjang lima abad yang lalu. Sebelum kemunculan perdagangan bebas, dan keberlanjutan hal tersebut hari ini, kebijakan dari merkantilisme telah berkembang di Eropa di tahun 1500. Ekonom awal yang menolak merkantilisme adalah David Ricardo dan Adam Smith.

Ekonom yang menganjurkan perdagangan bebas percaya kalau itu merupakan alasan kenapa beberapa kebudayaan secara ekonomis makmur. Adam Smith, contohnya, menunjukkan kepada peningkatan perdagangan sebagai alasan berkembangnya kultur tidak hanya di Mediterania seperti Mesir, Yunani, dan Roma, tapi juga Bengal dan Tiongkok. Kemakmuran besar dari Belanda setelah menjatuhkan kekaisaran Spanyol, dan mendeklarasikan perdagangan bebas dan kebebasan berpikir, membuat pertentangan merkantilis/perdagangan bebas menjadi pertanyaan paling penting dalam ekonomi untuk beberapa abad. Kebijakan perdagangan bebas telah berjibaku dengan merkantilisme, proteksionisme, isolasionisme, komunisme dan kebijakan lainnya sepanjang abad.


Peran negara dalam perdagangan bebas perspektif Islam


Berbicara tentang hubungan dagang internasional dengan bentuk pasar bebas, sistem kebijakan ekonomi Islam menempatkan asas kemaslahatan sebagai patokannya. Artinya, sejauhmana kepentingan umat (almaslahah al-ammah) terhadap kesepakatan perdagangan internasional yang dilakukan."Lagi-lagi, dalam konteks negara kita, jika kita “balik” ke belakang, harusnya pemerintah dapat melakukan analisis terhadap kemaslahatan ekonomi masyarakat dari dampak perdagangan bebas. Jika telah disepakati, maka konsekwensi itu harus ditanggung bersama dan tentunya rakyatlah yang sangat menderita jika kemudian gagal.Pertanyaannya, mengapa baru sekarang pemerintah “mencak-mencak” mohon penundaaan pemberlakuannya? Pada zaman Umar bin Khattab, ketika ahlul harb meminta kaum muslimin agar diizinkan masuk ke negara Islam untuk tujuan dagang dengan imbalan 10 persen dari hasil perdagangan mereka, maka Umar bermusyawarah dengan para sahabat dalam rangka mengkaji dan mengukur tingkat kemaslahatan bagi masyarakat.Saat itu, permohonan ahlul harb disepakati dengan konsensus oleh Umar dan sahabat karena dianggap bermanfaat untuk umat. Namun, pada kesempatan lain, Umar melakukan kebijakan ekonomi dengan hanya memberikan batasan waktu izin kepada sebagian pedagang dari kaum Nabthi untuk masuk ke pasar Madinah.

Dalam hal inilah, kalimat “masalah” menjadi titik sentral dalam melakukan kebijakan ekonomi internasional. Secara konstitusi (baca UUD 1945) bahwa negara berkewajiban melindungi segenap bangsa dan memajukan kesejahteraan bagi masyarakatnya. Kata melindungi berarti kewajiban negara untuk memproteksi masyarakat dari kemiskinan dan kemelaratan dan faktor-faktor penyebabnya.Sedangkan kata memajukan kesejahteraan umum berarti kewajiban pemerintah untuk melakukan memberdayakan ekonomi masyarakat dengan melakukan kebijakan dan mendorong ekonomi yang pro-rakyat.

Pada saat ekonomi rakyat mengalami kegoncangan, negara harus tampil melakukan penetrasi pasar dengan melakukan kebijakan ekonomi yang pro-rakyat.Jikapun ada “anak negeri” yang mampu bersaing hanyalah segelintir orang. Akibat selanjutnya, terjadinya gap (perbedaan) antara sebagian masyarakat yang tergolong mampu dengan sebagian masyarakat yang terlilit dalam lingkar kemiskinan. Dalam kebijakan ekonomi negara, Rasulullah Saw.Pernah melakukan kebijakan ekonomi ketika hanya terdapat satu golongan yang kaya di negeri itu namun disaat yang sama kemiskinan terjadi dimana-mana. Sebagai kepala negara, Rasulullah mengeluarkan kebijakan ekonomi dengan melakukan penetrasi pasar saat pertama sekali saat menaklukkan bani Nazir dengan cara memberi seluruh kekayaan fa’I yang diperolehnya kepada kaum muhajirin dan Anshar.Dalam konteks inilah Islam membolehkan intervensi pasar dengan melakukan kebijakan khusus, peran negara dalam pendistribusian itu menjadikan negara pada posisi waliyul amri adh dhoruri bi syaukah yang mana kewajiban negara untuk melindungi dan memberikan hak dasar dalam hidup bagi masyarakatnya tanpa menghilangkan hukum pasar itu sendiri.Nah,dalam konteks perdagangan bebas Asean-China, pemerintah harus melakukan upaya komprehensif dalam rangka melindungi masyarakatnya dari kegoncangan ekonomi yang berdampak pada kemiskinan dan kemelaratan. Paling tidak terdapat beberapa hal yang perlu dilakukan pemerintah dalam menghadapi FTAChina.

Seperti melakukan penekanan ekonomi biaya tinggi (high cost), pembenahan infrastruktur dan penyediaan energi, pemberian insentif pajak maupun non pajak serta melakukan sistem logistik dan pelayanan publik. Akhirnya, momentum perdagangan bebas ini hendaklah dimaknai secara posistif oleh seluruh stakeholder negeri ini. Bagi pemerintah, saat ini merupakan momentum mewujudkan kebijakan ekonomi yang selama ini belum berpihak kepada rakyat dan sektor ril, sembari memotivasi pelaku usaha untuk melakukan kreativitas dan inovasi untuk dapat bersaing dengan produk luar.

http://coenpontoh.wordpress.com/2005/10/08/pasar-bebas/

http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=79936:peran-negara-dalam-perdagangan-bebas&catid=33:artikel-jumat&Itemid=98

Tidak ada komentar:

Posting Komentar